Jakarta – Habiburokhman, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, mengecam film Dirty Vote sebagai karya yang lebih banyak “fitnah” dan “ketidakilmuan” di dalamnya.
Dia meragukan keakuratan keterangan dari tiga pakar hukum tata negara yang diwawancarai dalam film dokumenter tersebut.
Film Dirty Vote yang baru saja dirilis pada Minggu (11/2/2024) diduga memperbincangkan pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pasangan calon tertentu serta dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas demokrasi.
“Menurut saya, film ini dirancang dengan sengaja untuk dirilis pada masa tenang kampanye, karena mereka merasa tak mampu lagi bersaing secara adil dalam ranah politik. Jika ada ketidaksetujuan terhadap salah satu pasangan calon, seharusnya itu diungkapkan melalui proses demokratis bukan dengan menyebarkan film semacam ini,” ujar Habiburokhman dalam konferensi pers pada Minggu (11/2/2024).
“Kami yakin bahwa film ini tidak akan diterima oleh masyarakat. Rakyat sudah cerdas, mereka tahu apa yang harus dilakukan pada tanggal 14 Februari mendatang,” tambahnya.
Habiburokhman juga menyoroti keterangan yang diberikan oleh tiga pakar hukum tata negara dalam film tersebut, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, yang menurutnya tidak memadai dan lemah dalam argumentasinya.
Baca Juga: Paket 1.000 Sembako Barisan RFG Konawe Ludes dalam Sekejap di Tawanga
Politikus dari Partai Gerindra tersebut mengecam pernyataan Feri Amsari terkait penunjukkan 20 kepala daerah diduga terlibat dalam mendukung pasangan calon tertentu, menyebutnya sebagai spekulasi yang lemah secara logika.
“Saya meragukan apakah Feri Amsari benar-benar seorang doktor. Apakah dia telah memiliki gelar doktor? Oh, belum. Mungkin itu sebabnya, pemikirannya belum mencapai tingkat filosofis yang sesungguhnya,” tegasnya.
Habiburokhman juga menunjukkan keraguan terhadap keterangan Bivitri Susanti tentang dugaan kecurangan dalam pemilu yang disebutnya tidak didukung oleh bukti konkret atau status pelaporan yang jelas.
Selain itu, ia mempertanyakan keterangan Zainal Arifin Mochtar tentang keterlibatan kepala desa dalam proses politik.
“Walaupun dalam negara demokrasi setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya, namun kami yakin bahwa sebagian besar isi film tersebut berupa fitnah, narasi yang penuh kebencian, serta berdasarkan asumsi yang tidak berdasar dan jauh dari pemahaman ilmiah,” tandasnya.
Baca Juga: Program Tebus Murah Sembako Relawan RFG Disambut Antusias Warga Lambuya